Takmir Masjid Bukan Amil Zakat
(oleh: Muhammad Abduh Tuasikal)
Segala sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan perlu
pengkajian secara mendalam. Sebagian kita kadang beramal asal-asalan.
Sebagian orang berprinsip tanpa didasari ilmu lantas langsung berbuat.
Inilah salah satu yang lagi merebak saat ini, banyaknya orang yang
mengangkat diri sebagai amil zakat. Padahal tidak sembarang orang bisa
seenaknya mengangkat dirinya sebagai amil zakat, ada syarat yang mesti
dipenuhi. Namun demikianlah banyak yang menjadikan amil zakat ini
sebagai sarana mencari duit sehingga seenaknya saja memotong 1/8 dari
setiap zakat yang disetor. Padahal senyatanya ia jauh dari menyandang
predikat amil zakat.
Amil Zakat dalam Al Qur’an surat At Taubah (60)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang
miskin, (3) amil zakat, (4) para
mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan)
budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan
Allah dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”
yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa
zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya[1].
Yang dimaksudkan amil zakat di sini menurut tafsiran para ulama adalah:
Sebagaimana kata Ibnu Katsir, amil zakat adalah
orang yang bertugas mengurus zakat dan ia mendapat bagian dari zakat tersebut
dan tidak boleh amil zakat ini berasal dari kerabat (keluarga)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak
diperkenankan menerima sedekah[2].
Namun sebenarnya tidak sesederhana seperti yang
diterangkan di atas. Amil zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana
keterangan para ulama di bawah ini.
Para Ulama Berbicara Tentang Amil Zakat
Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,
“Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa
untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat
adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat
dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat”[3].
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud
dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk
mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian
pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta
orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya
mereka adalah orang-orang yang kaya”[4].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk
mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu
menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya. Sedangkan orang biasa
yang menjadi wakil orang yang berzakat[5] untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak
berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai
wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan
kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta
upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban
memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat”[6].
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula, “Orang
yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya,
ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang
diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu
rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan zakat)
gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang
bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur
kewajibannya”[7].
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat
agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi
otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan
mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid
serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara
syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah
pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan
mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki
kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak
untuk membayar zakat.
Kesimpulannya, tidaklah tepat
menyatakan takmir (pengurus) masjid sebagai amil zakat, yang tepat
mereka adalah wakil dari muzakki sebagaimana keterangan para ulama di atas.
Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil bagian dari zakat
dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama saja memakan harta orang
dengan cara yang batil. Wakil adalah ibarat talang, jadi hanya sekedar
menyalurkan dan pekerjaan mereka bersifat sosial. Kalau lah perlu diberikan
upah, tidak diambil dari harta zakat
namun dari dana lainnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Dari artikel Pengurus Masjid Bukanlah Amil Zakat — Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment
Silahkan Masukkan Saran Anda,,thanks :-)