(Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal)
Salah
satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana
yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku
tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits
hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits
ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di
dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api
neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi
disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)
Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan
setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal.
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori,
Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa
enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR.
Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri,
maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka
baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani
dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan
dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil
yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat
dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang
dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul
Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak
boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar
bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang
berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan
hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).”
(Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh
Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam
hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang
berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan,
maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits
ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara
berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan
Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan
dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih.
Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.”
(Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits
tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul
Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’)
sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat
yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan
sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban
kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif,
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia
mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan
dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat
ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh
Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang
yang menghidupkan sunnah Nabi
Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment
Silahkan Masukkan Saran Anda,,thanks :-)